Sejarah Tata Kelola Internet di Indonesia

Kali ini kami akan ulas tentang sejarah tata kelola internet di Indonesia. Internet bisa mencakup beragam layanan, yaitu mulai dari

  • surat elektronik atau e-mail yang setara dengan telepon,
  • layanan website yang sebanding dengan layanan penyiaran televisi,
  • database yang setara dengan perpustakaan,
  • dll.

Perumpamaan terhadap aspek tertentu, bisa jadi akan terlalu menyederhanakan pemahaman mengenai Internet.

Tata Kelola Internet

Latar Belakang Tata Kelola Internet

Menurut catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,3 juta, pada tahun 2016. Sudah pasti jumlah itu akan mengalami peningkatan tahun ini, juga tahun-tahun berikutnya. Menurut eMarketer, jumlah pengguna internet Indonesia menduduki urutan ke-6 tertinggi di dunia setelah

  • Tiongkok,
  • Amerika Serikat,
  • India,
  • Brasil, dan
  • Jepang.

Sayangnya, akses internet masih didominasi oleh kota-kota besar Indonesia misalnya Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Hanya sekitar 24,35% saja dari keseluruhan populasi Indonesia yang bisa menikmati akses internet. Masih ada kesenjangan digital antar masyarakat di perkotaan yang sudah bisa mengakses internet. Sedangkan warga pedesaan belum mampu mengaksesnya, alih-alih memanfaatkannya. Untuk itulah dibutuhkan adanya tata kelola internet di Indonesia.

Melibatkan Multistakeholder

Forum Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF) atau Tata Kelola Internet Indonesia diinisiasi oleh sejumlah multistakeholder, seperti :

  • organisasi masyarakat sipil,
  • sektor swasta,
  • akademisi, dan
  • tentu saja pemerintah.

Mereka semua dilibatkan karena persoalan internet di Indonesia sudah sangat kompleks. Bukan hanya sekedar masalah teknis saja, tapi juga non teknis, seperti ekonomi, hukum, keamanan, pendidikan, sampai pembangunan infrastruktur. Maka semua stakeholder diikutsertakan di forum ini.

Terinspirasi oleh Global IGF dan keberhasilan pembentukan inisiatif multistakeholder di negara-negara lain. Sejumlah perwakilan dari kelompok tersebut sejak 2010 terlibat dalam diskusi yang mempromosikan koordinasi dan dialog nasional mengenai tata kelola internet. Hal ini dirasa perlu karena sering terjadi persiangan pendapat antar berbagai kalangan. Mulai dari :

  • Sektor swasta dengan pemerintah,
  • Civil Society Organization (CSO) dengan swasta,
  • Pemerintah dengan CSO.

Selalu ada gap dalam tiap diskusi yang terjadi. Sebab tiap pihak membawa kepentingan sendiri-sendiri. Perbedaan perspektif antar multistakeholder selalu muncul. Sehingga tak kondusif dan hanya membuang energi saja. Maka diadakanlah forum internasional yang memfasilitasi seluruh kepentingan berbagai kalangan tersebut. Mengapa tak membuatnya untuk skala nasional?

Tantangan Saat Itu

Tantangan dalam pembentukan ID-IGF yaitu bagaimana mengajak berbagai multistakeholder untuk bersedia meluangkan waktu, anggaran, dan pikirannya. Hal ini demi kepentingan bersama, karena ini pekerjaan volunteer. Butuh proses lama untuk mencapai kesepakatan. Karena harus meyakinkan semua pihak bahwa isu tata kelola internet Indonesia sangat penting dan melibatkan berbagai sektor. Ketika didirikan, beragam respon datang dari multistakeholder yang akan dilibatkan. Ada yang positif dan ada yang negatif.

Sekilas, ID-IGF cuma serangkaian diskusi-diskusi belaka tanpa adanya hasil yang nyata. Padahal sebenarnya dari diskusi tersebut dapat membuka perspektif satu sama lainnya. Mulai terurai satu demi satu masalah apa saja yang dihadapi di Indonesia di era digital seperti aspek

  • pemerataan akses internet,
  • pembangunan infrastrukturnya,
  • kesenjangan digital,
  • optimalisasi internet bagi masyarakat,
  • kebijakan-kebijakan,
  • keamanan,
  • edukasi literasi,
  • dan banyak lagi.

ID-IGF jadi media untuk membahas itu semua, urun rembug untuk semua kalangan yang terlibat. Pada dasarnya semua kalangan sama-sama mau bikin internet memberi dampak positif bagi Indonesia dan memerangi efek negatifnya. Bagaimana supaya bikin keinginan itu terus menerus ada, diperbarui, dan diimplementasikan secara nyata.

Menyatukan berbagai multistakeholder di masa itu adalah sesuatu yang baru. Tidak heran jika banyak yang kurang antusias. Dari sektor swasta misalnya, sempat ada suara sumbang buat apa mengakomodasi hal-hal yang tak penting untuk organisasi. Setelah diyakinkan bahwa para pebisnis swasta akan susah maju jika tak ingin berinteraksi dengan multistakeholder lain, maka kendala itu bisa dikesampingkan.

Tak mudah mengajak berbagai pihak dengan aneka latar belakang dan kepentingan untuk duduk bersama dalam 1 meja. Belum lagi ada stigma-stigma yang telah tertanam. Tantangan itulah yang justru bikin ID-IGF makin jadi forum bergengsi. Karena beragam perspektif makin memperkaya forum ini dengan ide-ide dan opini yang sebelumnya tak pernah terdengar.

Inti dari masalah tata kelola internet Indonesia yaitu masih rendahnya literasi digital. Padahal jumlah pengguna internet terus bertambah dengan pesat. Maka kalangan yang sudah “melek” literasi digital harus berkumpul. Supaya kelak bisa berbagi wawasan literasi ke komunitasnya masing-masing.

Deklarasi ID-IGF

Pada 1 November 2012, sejumlah multistakeholder mendekralasikan ID-IGF. Multistakeholder ini terdiri dari unsur

  • pemerintah,
  • asosiasi bisnis dan profesi, dan
  • masyarakat sipil Indonesia.

Dalam deklarasi tersebut disebutkan 10 prinsip implementasi tata kelola internet, yakni :

  • Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi dan berjalannya Hukum berdasarkan UUD 1945
  • Tata kelola dengan perspektif multi pemangku-kepentingan
  • Tanggungjawab dari Negara
  • Memberdayakan pengguna internet secara maksimal
  • Sifat global dari internet
  • Integritas dari internet
  • Manajemen yang terdesentralisasi
  • Arsitektur yang terbuka
  • Netralitas jaringan
  • Keberagaman budaya dan bahasa

Deklarasi di atas disepakati bersama oleh Dirjen Aplikasi dan Telematika, Kemkominfo. Dan juga disepakati sejumlah komunitas internet Indonesia seperti :

  • APJII,
  • APITI,
  • FTII,
  • ICT Watch,
  • Pandi,
  • APTIKOM,
  • KADIN,
  • Mastel,
  • Nawala,
  • Arus Pelangi.

Jalinan antar multistakeholder itu pun semakin kuat. Karena terkait dengan persiapan penyelenggaraan Global IGF di Bali tahun  2013. Momen itu bisa dikatakan sebagai momen emas. Karena untuk pertama kalinya Indonesia jadi tuan rumah Global IGF.

Ke-10 prinsip dalam deklarasi di atas menggambarkan bahwa teknologi berbasis internet telah merasuk ke semua sektor. Terkait dengan hal itu, ada sejumlah prinsip yang mesti dijaga sebab semuanya mendorong kepentingan Indonesia. Mulai dari prinsip :

  • HAM,
  • Transparansi,
  • Akuntabilitas, dan
  • Kerjasama.

Ada isu tentang :

  • tata kelola internet dan data,
  • HAM
  • soal data pribadi, dan soal privasi.

Pada waktu yang bersamaan ada masalah keamanan baik dari internal ataupun eksternal. Berbagai prespektif dari multistakeholder berkumpul buat membicarakan permasalahan yang ada, dan mencari solusi terbaik. Semua yang hadir sama-sama memiliki hak untuk menyuarakan problemnya. Di tiap ajang ID-IFG, siapa saja yang berbicara selalu tercatat dan terdokumentasi. Sehingga bisa dikaji kembali di pertemuan selanjutnya.

Sekilas IGF

IGF merupakan mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke World Summit on the Information Society (WSIS) pada tahun 2005 di Tunisia. Mandat tersebut diperbarui kembali terus menerus. Sekretariat IGF di PBB membuka registrasi untuk negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang telah terdaftar sejak tahun lalu. Meski sudah aktif cukup lama sebagai peserta dan jadi tuan rumah Global IGF 2013, Indonesia baru tercatat sebagai anggota pada 2016.

Di forum tahunan internasional tersebut terjadi dialog antar multistakeholder terkait isu-isu internet. Mereka mewakili

  • pemerintah,
  • sektor swasta,
  • masyarakat sipil,
  • komunitas teknis dan akademisi.

Semua dianggap setara dan bisa berdiskusi secara terbuka dan inklusif. Forum IGF diumumkan oleh PBB secara resmi pada Juli 2006. Lalu pada Oktober-November 2006 digelar IGF pertama di Athena, Yunani. Sejak itu tiap tahun ajang tersebut diadakan di negara berbeda.

IGF adalah ruang di mana negara-negara berkembang punya kesempatan yang sama dengan negara-negara maju. Yaitu untuk terlibat dalam debat tentang tata kelola internet. Para anggota IGF semua difasilitasi untuk berpartisipasi sesuai dengan eksistensi institusinya. Keterlibatan semua multistakeholder dari negara berkembang ataupun maju sama-sama penting untuk perkembangan internet di masa depan.

Dari sini terlihat jelas kenapa Indonesia sangat perlu hadir dan berperan serta dalam semua ajang IGF. Supaya dapat aktif berpartisipasi dan mengambil banyak manfaat dari forum internasional tersebut. Sudah pasti Indonesia juga wajib aktif mengoptimalkan ID-IGF, forum nasional tata kelola internet.

Penyelenggaraan Global IGF
  • 2006 Athena, Yunani
  • 2007 Rio de Janeiro, Brasil
  • 2008 Hyderabad, India
  • 2009 Sham El Sheikh, Mesir
  • 2010 Vilnius, Lithuania
  • 2011 Nairobi, Kenya
  • 2012 Baku, Azerbaijan
  • 2013 Bali, Indonesia
  • 2014 Istanbul, Turki
  • 2015 Joao Pessoa, Brasil
  • 2016 Jalisco, Meksiko
  • 2017 Jenewa, Swiss

Sekian info tentang sejarah tata kelola internet di Indonesia, semoga post kali ini mencerahkan Anda. Kami berharap post literasi digital ini dishare biar semakin banyak yang mendapat manfaat.

Referensi:

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *